Fikih Puasa Syawal
Di antara rahmat
Allah ta’ala bagi
hamba-Nya adalah Ia mensyariatkan puasa Syawal setelah bulan Ramadan, agar
mereka bisa mendapatkan keutamaan seperti puasa setahun penuh. Berikut ini
pembahasan ringkas mengenai fikih puasa Syawal, semoga bermanfaat.
1.
Hukum Puasa Syawal
Puasa Syawal hukumnya mustahab (sunah),
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال
كان كصيام الدهر
“Barangsiapa yang puasa Ramadan
lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia mendapat
pahala puasa setahun penuh” (HR. Muslim no. 1164).
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni
mengatakan:
صَوْمَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ
شَوَّالٍ مُسْتَحَبٌّ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ
“Puasa enam hari di bulan Syawal
hukumnya mustahab menurut mayoritas para ulama” (Al-Mughni, 3/176).
Dijelaskan dalam Mausu’ah
Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (28/92): “Jumhur ulama dari Malikiyyah,
Syafi’iyyah, Hanabilah dan ulama Hanafiyah yang muta’akhir (kontemporer)
berpendapat bahwa puasa enam hari di bulan Syawal setelah puasa Ramadan
itu mustahab. Dan dinukil dari Abu Hanifah bahwa beliau berpendapat
hukumnya makruh secara mutlak, baik jika dilaksanakan berurutan atau tidak
berurutan. Dan dinukil dari Abu Yusuf (ulama Hanafi) bahwa beliau berpendapat
hukumnya makruh jika berurutan, namun boleh jika tidak berurutan. Namun jumhur
(mayoritas) ulama Hanafiyah muta’akhirin berpendapat hukumnya tidak
mengapa. Ibnu Abidin (ulama Hanafi) dalam kitab At-Tajnis menukil dari kitab
Al-Hidayah yang mengatakan: ‘Pendapat yang dipilih para ulama Hanafi muta’akhirin
hukumnya tidak mengapa. Karena yang makruh adalah jika puasa Syawal berisiko
dianggap sebagai perpanjangan puasa Ramadan, sehingga ini tasyabbuh terhadap
Nasrani. Adapun sekarang, ini sudah tidak mungkin lagi’. Al-Kasani mengatakan:
‘Yang makruh adalah puasa di hari Id, lalu puasa lima hari setelahnya. Adapun
jika di hari Id tidak puasa lalu besoknya baru puasa enam hari, ini tidak
makruh, bahkan mustahab dan sunah’.”
Maka yang rajih adalah
pendapat jumhur ulama yaitu puasa enam hari di bulan Syawal hukumnya mustahab (sunah)
sebagaimana ditunjukkan oleh hadis.
2. Keutamaan Puasa Syawal
puasa Syawal memiliki keutamaan
khusus, yaitu menyempurnakan ibadah puasa Ramadan sehingga senilai dengan puasa
setahun penuh. sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam:
من صام ستَّةَ أيَّامٍ بعد الفطرِ
كان تمامَ السَّنةِ من جاء بالحسنةِ فله عشرُ أمثالِها
“Barangsiapa yang puasa enam
hari setelah Idul Fitri, maka baginya pahala puasa setahun penuh. Barangsiapa yang
melakukan satu kebaikan, baginya ganjaran sepuluh kali lipatnya“
Dalam riwayat lain:
جعل اللهُ الحسنةَ بعشر أمثالِها ،
فشهرٌ بعشرةِ أشهرٍ ، وصيامُ ستَّةِ أيامٍ بعد الفطرِ تمامُ السَّنةِ
“Allah menjadikan satu kebaikan
bernilai sepuluh kali lipatnya, maka puasa sebulan senilai dengan puasa sepuluh
bulan. Ditambah puasa enam hari setelah Idul Fitri membuatnya sempurna satu
tahun” (HR. Ibnu Majah no. 1402, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih
Ibni Majah no.1402 dan Shahih At-Targhib no. 1007).
Imam An-Nawawi mengatakan:
وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ كَصِيَامِ
الدَّهْرِ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا فَرَمَضَانُ بِعَشَرَةِ
أَشْهُرٍ وَالسِّتَّةُ بِشَهْرَيْنِ
“Pahala puasa Syawal seperti puasa
setahun penuh. Karena satu kebaikan senilai dengan sepuluh kebaikan. Puasa
Ramadan sebulan senilai dengan sepuluh bulan, dan puasa 6 hari senilai dengan
dua bulan (60 hari)” (Syarah Shahih Muslim, 8/56).
3. Buah Dari Puasa Syawal
- Puasa Syawal menyempurnakan pahala puasa Ramadan
sehingga senilai dengan puasa setahun penuh.
- Puasa Syawal dan puasa Sya’ban sebagaimana salat
sunah rawatib sebelum dan sesudah salat, ia menyempurnakan kekurangan dan
cacat yang ada pada ibadah yang wajib. Karena ibadah-ibadah wajib akan
disempurnakan dengan ibadah-ibadah sunah pada hari kiamat kelak.
Kebanyakan orang, puasa Ramadannya mengandung kekurangan dan cacat, maka
membutuhkan amalan-amalan yang bisa menyempurnakannya.
- Terbiasa puasa selepas puasa Ramadan adalah tanda
diterimanya amalan puasa Ramadan. Karena ketika Allah menerima amalan
seorang hamba, Allah akan memberikan ia taufik untuk melakukan amalan
shalih selanjutnya. Sebagaimana perkataan sebagian salaf:
ثواب الحسنة الحسنة بعدها
“Balasan dari kebaikan adalah (diberi taufik
untuk melakukan) kebaikan selanjutnya”
Maka barangsiapa yang melakukan suatu
kebaikan, lalu diikuti dengan kebaikan lainnya, ini merupakan tanda amalan
kebaikannya tersebut diterima oleh Allah. Sebagaimana barangsiapa yang
melakukan suatu kebaikan, namun kemudian diikuti dengan keburukan lainnya, ini
merupakan tanda amalan kebaikannya tersebut tidak diterima oleh Allah.
- Orang-orang yang berpuasa Ramadan disempurnakan
pahalanya di hari Idul Fitri dan diampuni dosa-dosanya. Maka hari Idul
Fitri adalah hari pemberian ganjaran kebaikan. Sehingga puasa setelah hari
Idul Fitri adalah bentuk syukur atas nikmat tersebut. Sedangkan tidak ada
nikmat yang lebih besar selain pahala dari Allah ta’ala dan ampunan dari
Allah.
4. Tata Cara Puasa
Syawal
Tata cara puasa Syawal secara umum sama dengan
tata cara puasa Ramadan. Perbedaannya
ada pada beberapa hal:
1) Boleh niat puasa setelah terbit fajar
Telah kita ketahui bersama bahwa disyaratkan untuk
menghadirkan niat pada malam hari sebelum puasa, yaitu sebelum terbit fajar.
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من لم يبيِّتِ الصِّيامَ قبلَ الفَجرِ، فلا
صيامَ لَهُ
“Barangsiapa
yang tidak menghadirkan niat puasa di malam hari sebelum terbit fajar, maka
tidak ada puasa baginya” (HR. An-Nasai
no. 2331, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih An-Nasai)
Namun para ulama menjelaskan bahwa ini berlaku
untuk puasa wajib. Adapun puasa nafilah (sunah) maka boleh menghadirkan niat
setelah terbit fajar. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hal tersebut.
Sebagaimana dalam hadis Aisyah radhiyallahu
‘anha:
قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ،
ذاتَ يومٍ
يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟
قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء
قال فإني صائمٌ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku pada suatu hari: ‘Wahai Aisyah,
apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini?)’. Aku menjawab: ‘wahai
Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatupun (untuk dimakan)’. Beliau lalu
bersabda: ‘kalau begitu aku akan puasa’” (HR. Muslim no. 1154).
Imam An-Nawawi mengatakan:
وَفِيهِ دَلِيلٌ لِمَذْهَبِ الْجُمْهُورِ أَنَّ
صَوْمَ النَّافِلَةِ يَجُوزُ بِنِيَّةٍ فِي النَّهَارِ قَبْلَ زَوَالِ الشَّمْسِ
“Hadits ini merupakan dalil bagi jumhur ulama
bahwa dalam puasa sunah boleh menghadirkan niat di siang hari sebelum zawal
(matahari mulai bergeser dari tegak lurus)” (Syarah Shahih Muslim, 8/35).
2) Tidak harus berurutan
Tidak sebagaimana puasa Ramadan, puasa Syawal
tidak disyaratkan harus berurutan (mutatabi’ah) dalam pelaksanaannya.
Boleh dilakukan secara terpisah-pisah (mutafarriqah) harinya. Syaikh Abdul
Aziz bin Baz menjelaskan,
صيام ست من شوال سنة ثابتة عن رسول الله – صلى
الله عليه وسلم – ويجوز صيامها متتابعة ومتفرقة ؛ لأن الرسول – صلى الله عليه وسلم
– أطلق صيامها ولم يذكر تتابعاً ولا تفريقاً ، حيث قال – صلى الله عليه وسلم
من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام
الدهر
أخرجه الإمام مسلم في صحيحه
“Puasa enam hari di bulan Syawal telah sahih
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan boleh mengerjakannya secara
mutatabi’ah (berurutan) atau mutafarriqah (terpisah-pisah). Karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menyebutkan puasa Syawal secara mutlaq (baca: tanpa
sifat-sifat tambahan) dan tidak disebutkan harus berurutan atau harus
terpisah-pisah. Beliau bersabda: ‘Barangsiapa yang puasa Ramadan lalu diikuti
dengan puasa enam hari di bulan Syawal, ia mendapatkan pahala puasa setahun
penuh‘ (HR. Muslim dalam Shahihnya)” (Majmu’ Fatawa wa Maqalah Mutanawwi’ah,
15/391).
3) Boleh membatalkan puasa dengan atau tanpa uzur
Dibolehkan membatalkan puasa nafilah (sunnah)
baik karena suatu udzur syar’i maupun tanpa udzur. Berdasarkan hadits
Aisyah radhiallahu’anha,
دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم ذات يوم فقال
: هل عندكم شيء ؟ فقلنا : لا ، قال : فإني إذن صائم ، ثم أتانا يوما آخر فقلنا :
يا رسول الله أهدي لنا حيس ، فقال أرينيه فلقد أصبحت صائما ، فأكل
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu hari
masuk ke rumah dan bertanya: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu
(untuk dimakan)?’. Aisyah menjawab: ‘tidak’. Beliau bersabda: ‘kalau begitu aku
akan berpuasa’. Kemudian di lain hari beliau datang kepadaku, lalu aku katakan
kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, ada yang memberi kita hadiah berupa hayis
(sejenis makanan dari kurma)’. Nabi bersabda: ‘kalau begitu tunjukkan kepadaku,
padahal tadi aku berpuasa’. Lalu Nabi memakannya” (HR. Muslim no.
1154).
Juga berdasarkan hadis dari Ummu Hani’ radhiyallahu
‘anha, beliau bertanya:
لقدْ أفطرتُ وكنتُ صائمةً فقال لها أكنتِ تقضينَ
شيئًا قالتْ لا قالَ فلا يضرُّكِ إنْ كانَ تطوعًا
“Wahai Rasulullah, aku baru saja membatalkan
puasa sedangkan tadi aku berpuasa, bolehkah? Nabi bertanya: ‘apakah itu puasa
qadha?’ Aku menjawab: ‘bukan’. Nabi bersabda: ‘Jika demikian maka tidak
mengapa, yaitu jika puasa tersebut puasa tathawwu’ (sunah)‘” (HR.
Abu Daud no. 2456, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih
Abu Daud).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:
إذا كان الصوم نافلة فله أن يفطر، ليس بلازم، له
الفطر مطلقاً، لكن الأفضل ألا يفطر إلا لأسباب شرعية: مثل شدة الحر، مثل ضيف نزل
به، مثل جماعة لزَّموا عليه أن يحضر زواج أو غيره يجبرهم بذلك فلا بأس
“Jika puasa tersebut adalah puasa sunah, maka
boleh membatalkannya, tidak wajib menyempurnakannya. Ia boleh membatalkannya
secara mutlak. Namun yang lebih utama adalah tidak membatalkannya kecuali
karena sebab yang syar’i, semisal karena panas yang terik, atau badan yang
lemas, atau ada orang yang mengundang ke pernikahan, atau hal-hal yang memaksa
untuk membatalkan puasa lainnya, maka tidak mengapa.” (Sumber: www.binbaz.org.sa/noor/11778)
5. Bolehkah
mendahulukan puasa Syawal sebelum menunaikan hutang puasa?
Dalam masalah ini kami nukilkan penjelasan
bagus dari Syaikh Abdul Aziz Ath-Tharifi dan ini pendapat yang lebih kami
condongi dalam masalah ini:
“Para ulama berbeda pendapat mengenai
keabsahan dan kebolehan puasa sunah sebelum qadha puasa. Mereka khilaf
(berselisih) dalam dua pendapat dan dua riwayat dari Imam Ahmad ada pada dua
pendapat tersebut. Dan yang sahih hukumnya boleh.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits sahih
yang marfu’:
من صام رمضان ثم
أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa yang puasa Ramadan lalu
mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia mendapat pahala
puasa setahun penuh” (HR. Muslim no. 1164).
Sabda beliau “…puasa Ramadan lalu mengikutinya…”
dimaknai oleh sejumlah ulama kepada wajibnya menyempurnakan puasa Ramadan
sebelum mengerjakan puasa sunah. Dan ini juga zahir perkataan dari Sa’id bin
Musayyab yang dibawakan Al-Bukhari secara mu’allaq (tidak menyebutkan
sanad secara lengkap), beliau berkata tentang puasa sunah sepuluh hari (bulan Dzulhijjah)
sebelum qadha puasa Ramadan:
لا يصلح حتى
يبدأ برمضان
“Tidak dibenarkan kecuali diawali dengan (qadha)
puasa Ramadan“
Al-Baihaqi dan Abdurrazzaq meriwayatkan dari
Ats-Tsauri, dari Utsman bin Muhib, ia berkata: Aku mendengar Abu Hurairah
ketika ditanya seseorang:
إن عليّ أياماً
من رمضان أفأصوم العشر تطوعاً؟ قال: لا، ولم؟ إبدأ بحق الله ثم تطوع بعد ما شت
“Saya memiliki beberapa hari hutang puasa
Ramadan, bolehkah saya puasa sunah sepuluh hari? Abu Hurairah menjawab: tidak
boleh. Orang tersebut bertanya: mengapa? Abu Hurairah menjawab: dahulukan hak
Allah, kemudian baru kerjakan yang sunah semaumu“.
Dan diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Ibnu
Juraij, dari ‘Atha bahwa beliau menganggap hal itu makruh.
Dan diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari
Sufyan, dari Hammad bahwa ia berkata:
سألت إبراهيم
وسعيد بن جبير عن رجل عليه أيام من رمضان أيتطوع في العشر؟ قالا: يبدأ بالفريضة
“Aku bertanya kepada Ibrahim bin Sa’id bin
Jubair tentang seorang lelaki yang memiliki beberapa hari hutang puasa Ramadan,
bolehkah ia puasa sunah sepuluh hari? Ibrahim bin Sa’id berkata: tidak boleh,
dahulukan yang wajib.“
Dan mengakhirkan qadha puasa Ramadan hingga
bulan Sya’ban hukumnya boleh, berdasarkan perbuatan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Salamah, ia berkata: aku mendengar
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
كان يكون عليَّ
الصوم من رمضان فما أستطيع أن أقضي إلا في شعبان
“Aku pernah memiliki hutang puasa Ramadan, dan
aku tidak bisa menunaikannya hingga di bulan Sya’ban“
Pendapat yang sahih adalah boleh mengakhirkan
qadha puasa Ramadhan walaupun bukan karena darurat, dengan cacatan bahwa
menyegerakannya lebih utama. Jika tanpa darurat saja boleh, tentu
mengakhirkannya karena mengerjakan puasa Syawal lebih layak untuk dibolehkan.
Dan ini adalah salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad rahimahullah.
Dengan catatan, bahwa ulama sepakat bahwa yang lebih utama adalah mendahulukan
qadha puasa dan melepaskan diri dari tanggungan. Dalam pandangan kami, inilah
makna yang diinginkan oleh Abu Hurairah, Sa’id bin Musayyib, Atha, Sa’id bin
Jubair, Ibrahim bin Sa’id pada riwayat-riwayat di atas.
Dan perlu dicatat juga, bahwa orang yang tidak
puasa Ramadan karena suatu uzur maka ditulis baginya pahala puasa untuk hari
yang ia tinggalkan tersebut walaupun ia belum menunaikan qadha puasanya. Karena
orang yang terhalang karena suatu uzur itu dihukumi sebagaimana orang yang
mengamalkan amalan yang sah. Sebagaimana dalam sebuah hadis:
إذا مرض العبد
أو سافر كتب له ما كان يعمل وهو صحيح مقيم
“Jika seorang hamba sakit atau sedang safar,
maka ditulis baginya pahala amalan yang biasa ia lakukan dalam keadaan sehat
dan tidak safar” (HR. Bukhari no. 2996).
Dan qadha puasa Ramadan waktunya luas,
sedangkan puasa Syawal waktunya terbatas, sempit dan cepat berlalu” (Sumber: http://www.altarefe.com/cnt/ftawa/312).
6. Menggabung Niat
Puasa Syawal dengan Puasa
Lainnya
Masalah ini dikenal dalam ilmu fikih sebagai
masalah tasyrik an niyyat atau tasyrik
ibadatain fi niyyah (menggabung beberapa niat dalam ibadah).
Ada tiga rincian dalam masalah ini, yaitu sebagai berikut:
فَإِنْ كَانَ
مَبْنَاهُمَا عَلَى التَّدَاخُل كَغُسْلَيِ الْجُمُعَةِ وَالْجَنَابَةِ، أَوِ
الْجَنَابَةِ وَالْحَيْضِ، أَوْ غُسْل الْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ، أَوْ كَانَتْ
إِحْدَاهُمَا غَيْرَ مَقْصُودَةٍ كَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ مَعَ فَرْضٍ أَوْ
سُنَّةٍ أُخْرَى، فَلاَ يَقْدَحُ ذَلِكَ فِي الْعِبَادَةِ؛ لأِنَّ مَبْنَى
الطَّهَارَةِ عَلَى التَّدَاخُل، وَالتَّحِيَّةُ وَأَمْثَالُهَا غَيْرُ
مَقْصُودَةٍ بِذَاتِهَا، بَل الْمَقْصُودُ شَغْل الْمَكَانِ بِالصَّلاَةِ،
فَيَنْدَرِجُ فِي غَيْرِهِ.
أَمَّا
التَّشْرِيكُ بَيْنَ عِبَادَتَيْنِ مَقْصُودَتَيْنِ بِذَاتِهَا كَالظُّهْرِ
وَرَاتِبَتِهِ، فَلاَ يَصِحُّ تَشْرِيكُهُمَا فِي نِيَّةٍ وَاحِدَةٍ؛ لأِنَّهُمَا
عِبَادَتَانِ مُسْتَقِلَّتَانِ لاَ تَنْدَرِجُ إِحْدَاهُمَا فِي الأْخْرَى
“[1] Jika latar belakang pelaksanaan kedua
ibadah tersebut karena sifatnya tadakhul (saling bertemu satu
sama lain), sebagaimana mandi Jum’at dan mandi janabah (ketika dalam kondisi
junub di hari Jum’at, -pent.), atau mandi janabah dan mandi haid, atau mandi
Jum’at dan mandi untuk salat Id, atau [2] salah satu dari ibadah tersebut ghayru
maqshudah bidzatiha (yang dituntut bukan dzat dari ibadahnya,
-pent.) sedangkan ibadah yang lain adalah ibadah wajib atau sunah, maka ini
tidak mencacati ibadah (baca: boleh). Karena landasan dari taharah memang at-tadakhul dan
salat tahiyyatul masjid dan yang semisalnya yang dituntut bukan dzat dari
ibadahnya, namun yang dituntut adalah mengerjakan shalat ketika masuk masjid
(apapun salat itu, -pent.). Maka ibadah tersebut bisa masuk pada ibadah yang
lain. Adapun [3] menggabungkan niat antara dua ibadah maqshudah
bi dzatiha (yang dituntut adalah dzat ibadahnya), seperti
menggabungkan salat zuhur dengan salat rawatib zuhur, maka tidak sah
menggabungkan keduanya dalam satu niat, karena keduanya adalah dua ibadah yang
berdiri sendiri, yang tidak bisa masuk antara satu dengan yang lain” (Mausu’ah
Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 12/24).
Maka dari kaidah ini bisa kita jawab
permasalah-permasalahan berikut:
1) Menggabung puasa Syawal dengan qadha puasa
Hukumnya tidak boleh dan tidak sah, karena
puasa Syawal dan qadha puasa Ramadan keduanya adalah ibadah yang maqshudah bi
dzatiha. Keduanya adalah ibadah yang berdiri sendiri, sehingga tidak sah jika
digabungkan dalam satu niat.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
أما أن تصوم الست بنية القضاء والست فلا يظهر
لنا أنه يحصل لها بذلك أجر الست، الست تحتاج إلى نية خاصة في أيام مخصوصة
“Adapun jika anda puasa Syawal dengan
menggabung niat puasa qadha dan puasa Syawal, maka saya memandang puasa
Syawalnya tidak sah. Karena puasa Syawal membutuhkan niat khusus dan
membutuhkan hari-hari yang khusus” (Sumber: www.binbaz.org.sa/noor/4607).
2) Menggabung puasa Syawal dengan puasa ayyamul bidh
Hukumnya boleh dan sah. Karena puasa ayyamul
bidh adalah ibadah yang ghayru maqshudah bidzatiha. Ketika seseorang
melaksanakan puasa 3 hari dalam satu bulan, kapanpun harinya dan apapun jenis
puasa yang ia lakukan (yang disyariatkan) maka ia sudah mendapatkan keutamaan
puasa ayyamul
bidh.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
menyatakan:
إذا صام ست أيام من شوال سقطت عنه البيض ، سواء
صامها عند البيض أو قبل أو بعد لأنه يصدق عليه أنه صام ثلاثة أيام من الشهر ،
وقالت عائشة رضي الله عنها : ” كان النبي صلى الله عليه وسلم يصوم ثلاثة أيام من
كل شهر لا يبالي أصامها من أول الشهر أو وسطه أو آخره ” ، و هي من جنس سقوط تحية
المسجد بالراتبة فلو دخل المسجد
“Jika seseorang berpuasa enam hari di bulan
Syawal, gugur darinya tuntutan puasa ayyamul bidh. Baik ia puasa Syawal ketika
al-bidh (ketika bulan purnama sempurna), sebelumnya atau setelahnya, karena ia
telah berpuasa tiga hari dalam satu bulan. Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa
berpuasa tiga hari setiap bulan, tanpa peduli apakah itu awal bulan atau tengah
bulan atau akhirnya’. Ini sejenis dengan gugurnya tuntutan shalat tahiyatul
masjid dengan mengerjakan salat rawatib jika seseorang masuk masjid” (Sumber : https://islamqa.
Info/ar/4015).
3. Menggabung puasa Syawal dengan puasa Senin-Kamis
Hukumnya boleh dan sah. Karena puasa
Senin-Kamis adalah ibadah yang ghayru maqshudah bidzatiha. Karena
puasa Senin-Kamis disyariatkan bukan karena dzatnya, namun karena diangkatnya
amalan di hari itu sehingga dianjurkan berpuasa, apapun puasa yang
dilakukannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إن الأعمال ترفع يوم الاثنين والخميس فأحب أن
يرفع عملي وأنا صائم
“Sesungguhnya catatan amalan diangkat pada hari
Senin dan Kamis, maka aku suka jika catatan amalanku diangkat ketika aku sedang
puasa” (HR. Ibnu Wahb dalam Al-Jami’, dinilai sahih oleh Al-Albani
dalam Shahih
Al-Jami’ no. 1583).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
mengatakan:
إذا اتفق أن يكون صيام هذه الأيام الستة في يوم
الاثنين أو الخميس فإنه يحصل على أجر الاثنين بنية أجر الأيام الستة، وبنية أجر
يوم الاثنين أو الخميس
“Jika puasa Syawal bertepatan dengan hari
Senin atau Kamis, maka ia mendapatkan pahala puasa Senin-Kamis dengan niat
puasa Syawal atau dengan puasa Senin-Kamis” (Fatawa Al-Islamiyah, 2/154).
Demikian pembahasan singkat mengenai fikih
puasa Syawal. Semoga menjadi tambahan ilmu bagi kita semua, dan semoga Allah
ta’ala memudahkan kita untuk mengamalkannya.
Wabillahi
at-taufiq was-sadaad.
Komentar
Posting Komentar