8 Sunnah Amalan Idul Fithri
1. Mempersiapkan Shalat Idul Fithri Dengan Membersihkan
Diri dan Memakai Pakaian
Yang Paling Bagus.
Imam Malik dalam kitab Muwaththa’-nya
mentakhrij sebuah hadits dari Nafi’, ia berkata, “Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma dahulu
mandi pada hari Idul Fithri sebelum mendatangi tempat shalat”. Riwayat ini
sanadnya shahih.
Ibnul Qayyim berkata “Telah shahih dari Ibnu ‘Umar,
dan diketahui pula bahwa beliau adalah orang yang semangat dalam mengikuti
ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau dahulu mandi pada
hari raya sebelum ia keluar (ke tempat shalat). (Zaadul Ma’aad 1/442).
Dan telah shahih pula dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma,
dalam hal memakai pakaian yang paling baik pada dua hari raya. Ibnu Hajar
berkata, “Diriwayatkan dari Ibnu Abi Ad-Dunya dan Al-Baihaqi dengan sanad yang
shahih yang sampai kepada Ibnu ‘Umar, bahwasanya dia memakai pakaian yang
paling bagus pada dua hari raya.” (Fathul Bari 2/51).
Ada juga riwayat dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُبَّةٌ يَلْبَسُهَا
لِلْعِيْدَيْنِ وَيَوْمِ الجُمُعَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah khusus
yang beliau gunakan untuk Idul Fithri dan Idul Adha, juga untuk digunakan pada
hari Jum’at.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya, 1765)
2. Disunnahkan Makan Sebelum Shalat Idul
Fithri
Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ
يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied
pada hari Idul Fithri dan sebelumnya beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan
pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari
shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.” (HR. Ahmad 5: 352.
Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Untuk shalat Idul Fithri disunnahkan untuk makan sebelum keluar rumah
dikarenakan adanya larangan berpuasa pada hari tersebut dan sebagai pertanda
pula bahwa hari tersebut tidak lagi berpuasa.
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Al-Fath (2:
446) menyatakan bahwa diperintahkan makan sebelum shalat Idul Fithri adalah
supaya tidak disangka lagi ada tambahan puasa. Juga maksudnya adalah dalam
rangka bersegera melakukan perintah Allah.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ
تَمَرَاتٍ .. وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar pada hari Idul
Fithri (ke tempat shalat, pen.) sampai beliau makan beberapa kurma terlebih
dahulu. Beliau memakannya dengan jumlah yang ganjil.” (HR. Bukhari, no.
953)
Kalau tidak mendapati kurma, boleh makan makanan halal lainnya.
3. Disunnahkan Untuk Bertakbir dan Mengeraskan Takbir Pada Hari Raya.
Berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma,
ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dahulu
keluar dari rumahnya pada dua hari raya… Beliau mengangkat suaranya dengan
tahlil dan takbir…” (Hadits shahih dengan berbagai penguat, lihat Al-Irwaa’
3/123).
Dan dari Nafi’, ia berkata “Sesungguhnya Ibnu ‘Umar
ketika keluar pada pagi hari Iedul Fithri dan hari Iedul Adha, beliau
mengeraskan takbir hingga sampai di tempat shalat, kemudian bertakbir sampai
imam datang, lalu bertakbir dengan takbirnya imam tersebut (mengikuti takbir
imam)”. (HR. Ad-Daruquthni dengan sanad shahih)
Ibnu Syihab Az-Zuhri menyatakan bahwa kaum muslimin ketika itu keluar dari
rumah mereka sambil bertakbir hingga imam hadir (untuk shalat ied, pen.)
Dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّرُ
حَتَّى يَأْتِيَ المصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ
؛ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak
shalat pada hari raya Idul Fithri sambil bertakbir sampai di lapangan dan
sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau
berhenti dari bertakbir.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf
2/1/2. Hadits ini mursal dari Az-Zuhri namun memiliki penguat yang sanadnya
bersambung. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 171. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih)
Dan di antara bentuk takbir yaitu yang telah tetap
dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwasanya ia bertakbir pada
hari-hari tasyriq (dengan membaca):
الله أكبر ، الله أكبر ، لا إله إلا الله . والله أكبر ،
الله أكبر ، ولله الحمد
Allahu akbar, Allahu akbar, Laa Ilaaha Illallah,
wallahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamdu
Artinya:
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, dan Allah Maha Besar, dan bagiNya semua pujian”. (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih)
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, dan Allah Maha Besar, dan bagiNya semua pujian”. (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih)
Perhatian:
Bertakbir secara berjama’ah dengan satu suara (bersama-sama) tidak dituntunkan/tidak ada dasarnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, dan tidak pula dari seorang pun dari kalangan sahabatnya. Adapun yang benar adalah setiap orang bertakbir dengan sendiri-sendiri.
Bertakbir secara berjama’ah dengan satu suara (bersama-sama) tidak dituntunkan/tidak ada dasarnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, dan tidak pula dari seorang pun dari kalangan sahabatnya. Adapun yang benar adalah setiap orang bertakbir dengan sendiri-sendiri.
4. Disunnahkan Untuk Mendatangi Tempat Shalat Dengan
Berjalan Kaki.
Berdasarkan hadits ‘Ali radhiyallahu’anhu,
ia berkata, “Termasuk dari ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
keluar pada hari raya dengan berjalan kaki”. (HR.At-Tirmidzi, dan hadits ini
hasan dengan syawaahidnya)
5. Disunnahkan Ketika Kembali Dari Tempat Shalat Agar
Melewati Jalan Yang Berbeda Dengan Jalan Yang Dilalui Ketika Berangkat Ke
Tempat Shalat.
Dari
Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا
كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
Dari
Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika berada di hari ied (ingin pergi ke tempat
shalat, pen.), beliau membedakan jalan antara pergi dan pulang. (HR. Bukhari,
no. 986)
6. Shalat Idul Fithri Dilaksanakan Setelah Matahari
Terbit Dan Meninggi, Tanpa Adzan Dan Iqamat.
Shalat tersebut terdiri dari dua rakaat, pada rakaat
pertama terdapat tujuh takbir zawaid (tambahan), kemudian pada
rakaat kedua terdapat lima takbir zawaid. Dan disunnahkan bagi imam
untuk mengeraskan bacaannya, setelah al-Fatihah membaca surat al-A’la pada
rakaat pertama, dan al-Ghasyiyah pada rakaat kedua. Atau surat Qaf pada rakaat
pertama dan surat al-Qamar pada rakaat kedua. Kemudian berkhutbah setelah
shalat. Dan sangat ditekankan bagi para wanita untuk ikut serta keluar ke
tempat shalat.
Di antara dalil untuk point ini adalah:
1) Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, ia
berkata, ” Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dahulu
bertakbir pada hari Iedul Fithri dan Iedul Adha, pada (rakaat) pertama tujuh
kali takbir dan pada (rakaat) kedua lima kali takbir”. (HR. Abu Dawud dengan
sanad hasan dan hadits ini memiliki syawahid yang banyak).
2) Hadits dari An-Nu’man bin
Basyir radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam dahulu pada shalat Jum’at dan shalat dua hari raya membaca surat Al-Ghashiyah
(هل أتاك حديث الغاشية). (HR.Muslim)
Hadits dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah, bahwa ‘Umar ibnu al Khaththab radhiyallahu’anhu
bertanya kepada Abu Waqid al-Laitsiy, “Surat apakah yang dibaca oleh Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam pada hari Iedul Adha dan Iedul
Fithri? Lalu ia (Abu Waqid al-Laitsiy) menjawab, “Pada dua hari raya tersebut
beliau membaca surat Qaf (ق والقرآن المجيد) dan surat Al
Qamar (اقتربت الساعة وانشق القمر). (HR.Muslim)
3)
Hadits
dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu’anha, ia berkata, “Kami para
wanita diperintahkan untuk keluar (mendatangi tempat shalat pada hari raya),
lalu kami keluarkan wanita-wanita haid, para remaja putri serta wanita-wanita
dalam pingitan (wanita yang belum menikah). Adapun para wanita haid maka mereka
menyaksikan jama’ah muslimin dan doa-doa mereka, serta menjauhi tempat shalat
kaum muslimin”. (HR.Al-Bukhari dan Muslim)
4)
Hadits
dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, ia berkata, “Aku menyaksikan
shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman,
maka mereka semua melakukan shalat ied sebelum khutbah”. (HR. Muslim) Hadits
dari Jabir radhiyallahu’anhu, ia berkata, “Aku shalat dua hari raya
bersama Rasulullah shallallu’alaihi wasallam lebih dari sekali atau
dua kali tanpa adzan dan tanpa iqomat”. (HR. Muslim)
7. Apabila Hari Raya Bertepatan Dengan Hari Jum’at, Maka
Siapapun Yang Telah Melakukan Shalat Ied Maka Tidak Wajib Baginya Untuk Shalat Jum’at.
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma,
dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda,
“Telah terkumpul dua hari raya pada hari kalian
ini, barangsiapa yang mau maka itu sudah mencukupinya dari shalat Jum’at, dan
sesungguhnya kita akan memadukan (dua hari raya tersebut), insyaAllah“.
(HR.Ibnu Majah dengan sanad jayyid dan hadits ini memiliki syawahid yang
banyak) [Namun jika tidak menghadiri shalat Jum’at harus diganti dengan shalat
Zhuhur, ed]
8. Saling Mengucapkan Selamat (At-Tahniah)
Termasuk sunnah yang baik yang bisa dilakukan di hari Idul Fithri adalah
saling mengucapkan selamat. Selamat di sini baiknya dalam bentuk doa seperti
dengan ucapan “taqabbalallahu minna wa minkum” (semoga Allah menerima amalan
kami dan kalian). Ucapan seperti itu sudah dikenal di masa salaf dahulu.
فعن جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك
Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul
Adha, pen), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa
minka (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).” Al Hafizh Ibnu
Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. (Fath Al-Bari, 2: 446)
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
وَلَا بَأْسَ أَنْ يَقُولَ الرَّجُل لِلرَّجُلِ يَوْمَ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ
اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك
“Tidak mengapa (artinya: boleh-boleh saja) satu sama lain di hari raya ‘ied
mengucapkan: Taqobbalallahu minna wa minka.” (Al-Mughni, 2: 250)
Namun ucapan selamat di hari raya sebenarnya tidak diberi aturan ketat di
dalam syari’at kita. Ucapan apa pun yang diutarakan selama maknanya tidak
keliru asalnya bisa dipakai. Contoh ucapan di hari raya ‘ied:
- ‘Ied mubarak, semoga menjadi ‘ied yang penuh
berkah.
- Minal ‘aidin wal faizin, semoga kembali dan
meraih kemenangan.
- Kullu ‘aamin wa antum bi khair, moga di sepanjang
tahun terus berada dalam kebaikan.
- Selamat Idul Fithri 1440 H.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar