Rentetan Absen Negara

Jaminan hukum bagi warga negara untuk menjalankan hak-hak konstitusionalnya telah terkoyak akibat absennya negara dalam memberikan penghormatan, perlindungan dan penegakan hukum yang berkeadilan. Rentetan peristiwa intoleransi dan diskriminasi telah berbuah petaka dengan terjadinya berbagai tindakan kekerasan agama, keyakinan dan kepercayaan. 

Sejak awal pendiri bangsa ini telah menyadari eksistensi masyarakat Indonesia yang terdiri dari komunitas masyarakat yang beragam dan berdiri di atas segala perbedaan agama, etnis, suku dan budaya, sehingga prinsip kebhinekaan menjadi salah satu pilar utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dalam implementasinya seringkali diabaikan dan dilupakan, sehingga tidak teraktualisasi secara baik dalam penyelenggaraan negara, termasuk dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang terkadang bersifat parsial dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok minoritas agama, keyakinan dan kepercayaan.

Menurut data yang dipaparkan di CNN Indonesia, KOMNAS HAM menyatakan ada 3 kategori tema pengaduan kebebasan beragama/berkeyakinan yang dilaporkan. pertama, tindakan penyegelan, perusakan, atau penghalangan pendirian rumah ibadah yang berjumlah 30 berkas. Kedua, diskrimasi, pengancaman, dan kekerasan terhadap pemeluk agama dan keyakinan tertentu sebanyak 22 berkas. Ketiga, penghalangan terhadap ritual pelaksanaan ibadah sebanyak 15 berkas.
Konstruksi berpikir pembentuk undang-undang dalam Pasal 28E UUD 1945 sangatlah jelas bahwa kebebasan beragama merupakan hak individu yang dijamin oleh Negara. Tetapi, UU HAM tidak ada memberikan sanksi bagi orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 22 UU HAM. Bagi orang yang menghalang-halangi kegiatan ibadah yang dilakukan di tempat ibadah, dapat dijerat dengan Pasal 175 KUHP.

Jadi, pada dasarnya negara menjamin kebebasan semua orang untuk beribadah menurut agamanya masing-masing. Akan tetapi memang mengenai pelanggaran atas Pasal 22 UU HAM, tidak ada ketentuan sanksinya. Menjaga toleransi dan kebebasan beragama, berkeyakinan dan berekspresi merupakan tanggung jawab semua pihak. Tanggung jawab ini tentunya didasari bahwa kebebasan beragama, berkeyakinan dan berekspresi merupakan hak asasi manusia yang telah diakui dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. DPR sebagai representasi dari rakyat, yang tidak saja mewakili kelompok-kelompok yang mayoritas tetapi juga kelompok-kelompok yang minoritas harus memberi jaminan dan toleransi sehingga pelaksanaan kebebasan yang merupakan hak asasi manusia dan dijamin oleh UUD dapat berjalan dengan baik.

Sebagai pembuat regulasi, perlu adanya realisasi undang-undang yang menjamin kebebasan beragama, berkeyakinan, dan berekspresi bagi setiap warga negara, melakukan tindakan-tindakan evaluatif terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, yang mengandung muatan diskriminatif, khususnya dalam kaitannya dengan jaminan kebebasan beragama, dan mendorong pembaruan KUHP untuk mengakomodir prinsip-prinsip yang lebih demokratis, termasuk di dalamnya untuk memperkuat ketentuan yang terkait dengan penyebaran kebencian atas dasar agama. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan memiliki peran yang sangat penting untuk terjaganya keutuhan berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian pemerintah sebagai pelayan publik harus bertindak anti diskriminatif dengan tidak membedakan perlakuan terhadap golongan-golongan tertentu, tidak hanya pemerintah, tapi semua kalangan. pemerintah harus mampu membuat kebijakan yang mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan memberikan perlindungan bagi kelompok-kelompok minoritas, pemerintah harus mewaspadai berkembangnya penyebaran kebencian atas dasar agama yang dilakukan melakukan pendekatan dan dialog secara intensif dan menjelaskan tentang pentingnya hidup secara berdampingan dan menghargai perbedaan.

Aparat penegak hukum, khususnya kepolisian harus tegas terhadap pelaku penyebaran kebencian atas dasar agama. Tindakan tegas itu dibutuhkan untuk mencegah terjadinya eskalasi konflik yang lebih meluas atas dasar agama, menghentikan kriminalisasi terhadap korban, sebaliknya menindak para pelaku yang melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas agama. Sebagai penjaga ketertiban, pihak kepolisian harus bersikap adil dengan menjamin perlindungan bagi kelompok manapun yang terancam oleh tindakan kelompok-kelompok lain karena perbedaan pandangan. Dengan adanya penghormatan dan upaya-upaya di atas, maka tindakan-tindakan intoleran setidaknya akan berkurang dan dapat diatasi dengan baik.

Bahan Bacaan :

3.  KUHP
4.  Pasal 28 E ayat (1) UUD 1945
5.  Pelanggaran Kebebasan Beragama
6.  Kasus Pelanggaran Hak Beragama 

Jakarta, 19 Maret 2016


Febri Fazriati 
Staff Humas BEMP Geografi UNJ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Press Release Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru Pendidikan Geografi

OPEN HOUSE BEMP GEOGRAFI 2017-2018

OPEN HOUSE BEMJ GEOGRAFI UNJ PERIODE 2015-2016