Krisis Mollo
Masyarakat
suku Mollo berada di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur.
Mollo mempunyai kepercayaan turun temurun mengenai adanya fungsi tanah, batu,
pohon, dan air. Orang-orang Mollo percaya, keempat elemen itu mempunyai fungsi yang sama dengan tubuh
manusia. Bagi mereka, air melambangkan darah, batu melambangkan tulang, dan
tanah sebagai daging, serta pohon atau hutan yang mereka anggap sebagai
paru-paru atau juga rambut “fatu, nasi,
noel, afu amasat a fatis neu monit mansian.” Ini merupakan istilah
orang-orang Mollo yang dapat diartikan: batu, hutan, air, dan tanah bagi tubuh manusia.
Masyarakat Mollo pada tahun 1997
hingga tumbangnya rezim soeharto pernah melakukan perlawanan terhadap
perusahaan nasional kehutanan Perhutani yang memagari sabana mereka untuk
dijadikan kebun kayu eukaliptus. Pemagaran ini dilakukan secara paksa tanpa
izin dari empunya sabana itu. Pemerintah melakukan hal tersebut karena dalam
administrasi kehutanan, sabana yang juga adalah permukiman masyarakat Mollo
merupakan bagian dari kawasan hutan negara, dengan begitu Menteri Kehutanan
menggunakan kewenangan legalnya untuk mengeluarkan izin pemanfaatan hutan
negara itu untuk pembangunan perkebunan hutan tanaman industri oleh Perhutani.
Dengan keadaan yang seperti itu, masyarakat Mollo melawan adanya hutan tanaman industri itu dengan alasan yang
sangat mendasar bahwa sabana itu milik mereka, dan perusahaan telah merampas hak atas tanah dan menurunkan
kesejahteraan mereka secara drastis. Namun masyarakat Mollo tidak bisa berbuat
banyak akan perubahan sabana itu.
Normalnya, Timor Barat, Provinsi Nusa
Tenggara Timur hanya memiliki 3 hingga 4 bulan hujan dan 8 hingga 9 bulan
kemarau. Masyarakat Mollo yang tinggal di pulau tersebut telah membangun
kemampuan yang luar biasa menyesuaikan diri dengan lingkungan alamnya, termasuk
memenuhi kebutuhan pangan mereka. Salah satu pilihan mereka adalah pertanian
lahan kering, yang persediaan airnya bergantung pada datangnya hujan. Namun,
para petani di Pulau Timor kini menghadapi cuaca ekstrem yang menggangggu hasil
pertanian mereka. Dengan jumlah hujan yang terlalu banyak dapat membuat bibit
jagung yang baru ditanam terbawa hujan, adapun datang “hujan tipu” yang sebentar datang dan tiba-tiba pergi yang berakibat
tanaman dapat kekurangan air.
Kebijakan-kebijakan yang mengancam kerap dibungkus atas nama program pembangunan. Masyarakat Mollo harus bersaing dengan program-program kehutanan yang mengklaim lahan pengembalaan, hutan adat, dan kebun menjadi lahan negara. Akibatnya, jika pangan makin sulit didapat, tak ada pekerjaan di kampung, tak ada uang tunai ditangan. Biasanya langkah yang diambil adalah menjual ternak. Ada juga yang meminta bantuan pangan kepada keluarga atau tetangga, atau juga memilih pergi ke kota, menyebrang antarpulau, bahkan ke luar negeri dan menjadi buruh migran. Namun, hal ini hanya dilakukan oleh sebagian dari banyaknya orang-orang Mollo.
Banyak dari mereka yang masih bertahan dengan mempertahankan tanah adat yang masih dimiliki. Usaha yang mereka lakukan salah satunya adalah bertenun, bertani pohon madu, dan menanam ubi kayu serta berbagai jenis sayuran tanah kering. Tenun tak hanya menjadi siasat menghadapi masa panceklik saat lahan-lahan belum bisa ditanami, baik karena musim hujan belum datang maupun karena krisis iklim makin terasa. Mengurus kembali tenun dan pertanian serta menguatkan melalui pengorganisasian menjadi langkah strategis dalam membangun dan memperluas aliansi Mollo dan sekitarnya.
“Kami tidak jadi manusia lagi kalau
kami tidak tinggal ditanah ini, sedangkan tanah kami banyak longsor dan rusak,
batu diambil dan dihancurkan, lalu air kotor, hilang, dan hutan diambil.
Akibatnya tanah lepas pergi, air jadi kurang. Padahal, tanah, hutan, batu, dan
air memiliki fungsi yang sama dengan tubuh manusia”
ujar Ety Anone, Perempuan Mollo dari Desa Kuanoel.
Oleh
: Indah Suryani
Edukasi
BEMP Geografi UNJ
Sumber Buku : Mollo, Pembangunan dan Perubahan
Iklim
Editor : Febri Fazriati
Mungkin boleh tuh dijelaskan jenis pertanian lahan kering seperti apa bentuknya, kemudian kebijakan pemerintah tsb berdampak negatif apa sehingga warga mollo menolaknya selain melanggar adat
BalasHapus