Shalat Seorang Musafir
Sebagai mahasiswa Geografi kita selalu identik dengan
jalan-jalan atau bepergian jauh. Biasanya saat-saat inilah kita akan melakukan
kuliah lapangan atau bisa dikenal dengan sebutan PKL (Praktik Kuliah Lapangan)
ataupun fieldtrip yang dilaksanakan pada mata kuliah tertentu. Seorang muslim yang baik tentu saja tidak akan melalaikan
kewajiban utamanya untuk
tetap beribadah pada Allah meski pun berada dalam kondisi safar
yang melelahkan. Artikel berikut akan mengulas permasalahan sholat seorang
musafir yang dikutip dari makalah karya Al Ustadz Abu ‘Ubaidah Yusuf bin
Mukhtar As Sidawi – hafidzahullah- dalam Majalah Al Furqon edisi 11/tahun-8.
1. Meringkas Shalat
Meringkas shalat (qoshor) dimana shalat empat rakaat diringkas
menjadi dua rakaat ketika safar disyariatkan. Dalil-dalil tentang masalah ini
di antaranya:
Allah berfirman:
وَاِذَاضَرَبْتُمْ فِى اْلاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ
تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلَوٰةِ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ
كَفَرُوْا اِنَّ اْلكفِرِيْنَ كَانُوْالَكُمْ عَدُوًّامُّبِيْنًا
“Dan apabila kamu
bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qoshor sholat(mu), jika
kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh
yang nyata bagimu.” (Qs. An Nisa’: 101)
‘Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata,
أنَّ
الصَّلاَةَ أَوَّلُ مَافُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ،فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ
السَّفَرِوَأُتِمَّتْ صَلاَةُ الحَضَرِ
“Pertama
kali sholat diwajibkan adalah dua raka’at, maka tetaplah sholat musafir dua
raka’at dan shalat orang yang muqim (menetap) sempurna (empat raka’at).” (HR.
Al Bukhari: 1090 dan Muslim:685)
Asy
Syinqithi mengatakan, “Para ulama bersepakat atas disyariatkannya meng-qoshor
sholat empat raka’at ketika safar. Berbeda dengan orang-orang yang mengatakan
bahwa tidak ada qoshor kecuali ketika haji, umroh, atau ketika keadaan
mencekam. sesungguhnya perkataan seperti ini tidak ada dasarnya menurut ahli
ilmu.” (Adhwa’ul Bayan 1/265).
A. Shalat yang boleh diqoshor.
Merupakan
perkara yang disepakati oleh para ulama, shalat yang boleh diringkas adalah
shalat Zhuhur, Ashar, dan ‘Isya’. Imam Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama telah
sepakat bahwa sholat Maghrib dan Shubuh tidak boleh diqoshor.” (al-Ijma’ hal.
9)
B. Kapan seorang musafir boleh meringkas shalat?
Orang
yang safar diperbolehkan meringkas shalatnya apabila telah berangkat
dan meninggalkan tempat tinggalnya. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,
صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ النَّبِيِّ بِالْمَدِيْنَةِ
أَرْبَعًا وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ.
“Aku
shalat bersama Nabi di Madinah empat raka’at dan di Dzulhulaifah dua raka’at.”
(HR. Al Bukhari:1039 dan Muslim:690)
C. Apabila musafir bermakmum kepada muqim.
Kewajiban seorang
musafir apabila bermakmum di belakang muqim adalah tetap shalat secara sempurna
mengikuti imamnya berdasarkan keumuman hadits,
إِنَّمَا جُعِلَ اْلإِمَامُ
لِيُؤْتَمَّ بِهِ
“Sesungguhnya (seseorang) itu dijadikan imam untuk
diikuti”. (HR. Al Bukhari:722 dan Muslim:414)
Dan
juga para shahabat shalat di belakang Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu
‘anhu, tatkala beliau shalat di Mina empat raka’at, maka para shahabat
tetap mengikutinya shalat empat raka’at. Oleh karena itu Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma ketika ditanya, “Mengapa seorang musafir kalau shalat sendirian dia
shalat dua raka’at tetapi kalau shalat bersama imam dia shalat empat raka’at
?”, beliau menjawab, “Demikianlah sunnah Abul Qashim (Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam)” (Liqa’ Bab Maftuh hal. 40)
Mengomentari
atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ini, Syaikh Al Albani rahimahullah berkata,
“Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas bahwa seorang musafir
apabila bermakmum kepada muqim maka dia menyempurnakan dan tidak menqoshor. Ini
merupakan madzhab imam yang empat dan selain mereka. Bahkan Imam Syafi’i
menceritakan dalam Al Umm (1/159) kesepakatan mayoritas ulama akan hal itu dan
disetujui oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (2/465).” (Silsilah
Ahadits Shohihah 6/387)
D. Lupa shalat ketika safar dan ingat ketika muqim.
Kalau
ada seorang musafir lalu dia ingat bahwa dia belum shalat Zhuhur –
misalnya—ketika masih di rumah, apakah dia shalat qoshor dua raka’at (mengingat
keadaan dirinya sekarang sebagai musafir) ataukah empat raka’at (karena keadaan
ketika lupa adalah saat muqim)? Demikian juga sebaliknya, kalau ketika muqim
teringat bahwa dia lupa belum shalat ketika dalam safarnya, apakah dia
melakukannya qoshor ataukah menyempurnakan shalat?!
Masalah
ini diperselisihkan para ulama. Akan tetapi yang benar – Wallahu a’lam – bahwa
yang menjadi patokan adalah keadaan ketika dia lupa tersebut. Artinya, dia
qoshor kalau shalat yang dia tinggalkan adalah ketika safar walaupun dia ingat
ketika muqim. Begitu pula, dia tetap shalat secara sempurna kalau shalat yang
dia tinggalkan adalah ketika muqim meskipun dia ingat ketika dalam keadaan
safar. Dasarnya adalah keumuman hadits,
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا
إِذَا ذَكَرَهَا
“Barangsiapa yang lupa akan shalat atau tertidur maka
hendaknya dia mengerjakannya ketika dia ingat.” (HR. Al Bukhari:572 dan Muslim:682)
E. Sudah qoshor dan jama’ kemudian tiba di kampung
sebelum waktu shalat kedua.
Gambaran
masalahnya, ada seorang musafir telah mengerjakan shalat zhuhur dan asar dengan
qoshor di perjalanan. Kemudian sampai di rumah sebelum masuknya waktu shalat
asar. Apakah dia berkewajiban untuk mengulang shalatnya? Jawabnya tidak
harus karena dia telah menunaikan kewajibannya (Ta’liqot Syaikh
Ibni ‘Utsaimin ‘ala Qowa’id Ibni Rojab 1/35).
2. Menjama’ (Menggabung) Dua Shalat
Termasuk
kesempurnaan rahmat Allah bagi seorang musafir adalah diberi keringanan untuk
menjama’ dua shalat di salah satu waktunya. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
يَجْمَعُ بَيْنَ صَلاَةِ الظُّهْرِ وَالعَصْرِ إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ
وَيَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَاْلعِشَاءِ
“Apabila
dalam perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’
shalat Zhuhur dengan Asar serta Maghrib dengan ‘Isya’.” (HR. Al Bukhari:1107
dan Muslim:704)
Imam
Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Boleh menjama’ shalat
Zhuhur dan Asar di salah satu waktu keduanya sesuai kehendaknya. Demikian pula
shalat Maghrib dan ‘Isya’, baik safarnya jauh atau dekat.” (Syarh Shahih Muslim
6/331)
Imam
Ibnu Qudamah rahimahulah berkata, “Boleh menjama’ antara Zhuhur dan Asar serta
Maghrib dan ‘Isya’ pada salah satu waktu keduanya.” (Al Muqni’ 5/84)
Shalat
yang boleh dijama’ adalah shalat Zhuhur dengan Asar serta shalat Maghrib dengan
‘Isya’. Adapun shalat shubuh tidak boleh dijama’ dengan shalat yang sebelumnya
atau sesudahnya. Demikian pula tidak boleh menjama’ shalat asar dengan maghrib.
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,
كَانَ النَّبِيُّ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيْغَ
الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا
وَإِذَا زَاغَتْ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ.
“Adalah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berangkat sebelum
matahari tergelincir maka beliau mengakhirkan shalat Zhuhur hingga Asar
kemudian menjama’ keduanya. Apabila beliau berangkat setelah Zhuhur maka beliau
shalat Zhuhur kemudian baru berangkat.” (HR. Al Bukhari:1111 dan Muslim:704)
Adapun
tatacara menjama’ shalat adalah menggabungkan dua shalat dalam salah satu
waktu, baik diakhirkan maupun dikedepankan. Misalnya shalat Zhuhur dan Asar
dijama’ (digabung) dikerjakan pada waktu Zhuhur atau pada waktu Asar, keduanya
boleh. Hendaklah adzan untuk satu kali shalat dan iqomah pada setiap shalat.
yaitu satu kali adzan cukup untuk Zhuhur dan Asar dan iqomah untuk setiap
shalat (HR. Al Bukhari: 629).
3. Shalat Berjama’ah (Terutama Bagi Laki-Laki)
Shalat
berjama’ah tetap disyariatkan ketika safar. Bahkan para ulama mengatakan bahwa
hukum shalat berjama’ah tidak berubah baik ketika safar maupun muqim
berdasarkan dalil-dalil berikut:
A. Al Qur’an. Allah berfirman,
﴿وَاِذَا كُنْتَ فِيْهِمْ فَاَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَوٰةَ
فَلْتَقُمْ طَآ ئِفَةٌ مِّنْهُمْ مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُوۤاْ اَسْلِحَتَهُمْ ﴾
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka
(sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka
hendaklah segolongan dari mereka berdiri (sholat) besertamu dan menyandang
senjata.” (Qs. An Nisa’: 102)
B. As-Sunnah
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam senantiasa tetap shalat berjama’ah ketika safar
sebagaimana dalam kisah tertidurnya beliau bersama para shahabatnya ketika
safar hingga lewat waktu shubuh. Sedangkan Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku
shalat.” (HR. Al Bukhari:631.
Lihat Syarh Al Mumthi’ 4/141)
4. Shalat di Atas Kendaraan
Pada asalnya, shalat wajib tidak boleh ditunaikan di atas kendaraan.
Hendaknya dikerjakan dengan turun dari kendaraan sebagaimana perbuatan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkecuali dalam keadaan
terpaksa seperti khawatir akan habisnya waktu shalat. Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu
‘anhuma mengatakan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يُصَلِّيْ عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ
فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيْ الْمَكْتُوْبَةَ نَزَل
“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat (sunnah)
di atas kendaraannya ke arah timur. Apabila beliau hendak shalat wajib maka
beliau turun dari kendaraan kemudian menghadap kiblat”. (HR. Al Bukhari :
1099).
Adapun tatacara shalat di atas kendaraan, baik itu pesawat, bus, kereta,
atau kapal laut, adalah sebagai berikut:
Hendaklah shalat dengan berdiri menghadap kiblat apabila mampu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya
tentang shalat di atas perahu. Beliau menjawab,
صَلِّ قَائِمًا إِنْ لَمْ تَخَفْ
اْلغَرَقَ
“Shalatlah dengan berdiri kecuali
apabila kamu takut tenggelam.” (HR. Al Hakim 1/275, Daraqutni 1/395, Al Baihaqi dalam Sunan Kubro 3/155,
dishahihkan oleh Al Albani dalam Ashlu Shifat Shalat Nabi 1/101)
Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan, “Hukum shalat di
atas pesawat itu seperti shalat di atas perahu. Hendaklah shalat dengan berdiri
apabila mampu. Jika tidak, maka shalatlah dengan duduk dan berisyarat ketika
ruku’ dan sujud” (Ashlu Shifat Shalat Nabi 1/102).
Berusahalah tetap shalat berjama’ah (terutama bagi laki-laki). Apabila
dalam kendaraan ada ruang yang bisa digunakan shalat berjama’ah maka shalatlah
dengan berjama’ah walaupun hanya dua orang. Bila tidak, maka shalatlah
berjama’ah dengan duduk.
Kerjakan shalat seperti biasa: niat dalam hati, takbiratul ihram, membaca
doa iftitah, membaca Al Fatihah, membaca surat dalam Al Qur’an, ruku’, kemudian
bangkit dari ruku’, lalu sujud. Bila tidak mampu ruku’, maka cukup dengan
menundukkan kepala dan engkau dalam keadaan berdiri. Bila tidak mampu sujud,
maka cukup dengan duduk seraya menundukkan kepala. Apabila shalatnya dikerjakan
dalam keadaan duduk, maka ketika ruku’ dan sujud cukup dengan menundukkan
kepala dan jadikan posisi kepala untuk sujud itu lebih rendah. (Majma’
Fatawa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin 15/250)
Demikian penjelasan sholat bagi musafir. Semoga menjadi ilmu yang
bermanfaat.
Sumber : https://muslimah.or.id/311-shalat-seorang-musafir.html
Sumber : https://muslimah.or.id/311-shalat-seorang-musafir.html
Komentar
Posting Komentar