Problematika Iklim Kemanusiaan dan Gender

Belum ada kesepakatan penggunaan istilah mana yang lebih tepat antara menggunakan kata perempuan atau wanita. Banyak yang menggunakan istilah perempuan dan tidak sedikit yang bertahan pada istilah wanita, tentu dengan argumennya masing-masing. Kata perempuan berasal dari empu, yang bermakna dihargai, dipertuan, atau dihormati. Nah, kata wanita diyakini dari bahasa sansekerta, dengan kata dasar wan yaitu nafsu, sehingga kata wanita memiliki arti yang dinafsui. Kalau dalam bahasa Jawa, kata wanita artinya wani ditata, yaitu berani ditata. Artinya, seorang wanita adalah sosok yang berani ditata atau diatur. Jadi, secara simbolik, mengubah penggunaan kata wanita menjadi perempuan itu mengubah objek menjadi subjek. Kedua istilah ini tidak hanya berkaitan dengan asal bahasa atau padanan kata, tetapi berkaitan erat dengan citra, mitos, dan stereotype.

Berbicara mengenai kekuasaan, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan suatu kebijakan dari proses hingga keputusannya. Definisi kekuasaan sering kali hanya dikaitkan dengan persoalan-persoalan kenegaraan yang sebenarnya hanyalah salah satu dimensi dari kekuasaan, yaitu dimensi makro. Ada pula kekuasaan dalam dimensi mikro, yaitu kekuasaan yang ada dalam hubungan antarpribadi dalam ruang lingkup rumah tangga yang sering kali bisa meluas pengaruhnya. Kemampuan wanita untuk mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut bukan hanya pada saat keputusan itu mau diambil, melainkan dari sebuah proses yang panjang dari proses adaptasi, hingga proses strategi diplomasi.

Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup tidak hanya diperuntukan bagi para laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama pada hakikatnya. Namun sangat disayangkan, sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap. 

Banyak nasib kaum perempuan di Indonesia yang belum menghirup kemerdekaan sejati dari belenggu-belenggu ekonomi, adat kebiasaan, dan seumumnya budaya warisan yang sudah tidak relevan tetapi alot bersikeras berjalan terus, bahkan tafsiran-tafsiran tertentu dari agama. 

Nasib kaum Hawa yang belum cukup menikmati iklim kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial, membenarkan segala usaha perjuangan emansipasi perempuan. Perjuangan nyata dari organisasi perempuan adalah bergerak melalui jalur politik, menguatkan landasan hukum untuk mensejajarkan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan bersama. Persamaan hak sebagai sesama warga negara masih perlu dilaksanakan sebagaimana tercantum dalam UUD yang merupakan inti dari pergerakan perempuan Indonesia. Untuk menjawab dan mencapai hal tersebut diperlukan adanya perbaikan peraturan maupun dalam hal pelaksanaannya. Semakin banyak perempuan yang sadar tentang adanya ketidakadilan gender di lingkup domestik maupun publik.

Yang menjadi pertanyaan sederhana, jika seorang laki-laki marah, mengapa dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung malah dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri? Standar nilai terhadap  perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotype gender laki-laki dan perempuan. Penindasan terhadap perempuan berakar pada adanya struktur kelas yang eksploitatif.

Sebenarnya, dasar hukum kesetaraan hak dan kesempatan bagi perempuan sudah cukup kuat. Walaupun dalam kerangka hukum formal sudah progresif, tapi masih ada kendala yang menghambat partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di segala tingkat. Tidak sedikit perempuan yang tidak memahami hak-hak mereka.Walaupun ada wakil rakyat perempuan dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta begitu banyaknya organisasi pergerakan wanita. Hanya sedikit perempuan yang terlibat dalam pembuatan kebijakan, perencanaan pembangunan, atau menduduki posisi penentu kebijakan yang mampu menentukan program dan proyek pembangunan. Berdasarkan data yang ada, dari 34 Menteri dalam kabinet pemerintahan Jokowi-JK, 8 diantaranya adalah perempuan. Jumlah keterwakilan perempuan di Kabinet Kerja Jokowi-JK lebih banyak dibandingkan pada kabinet-kabinet sebelumnya.

Fenomena perempuan bekerja diluar rumah oleh banyak pihak masih dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru di Indonesia. Baik di dunia barat maupun timur, perempuan digariskan untuk menjadi istri dan ibu. Sejalan dengan ini, streotype yang dikenakan pada perempuan adalah makhluk yang emosional, pasif, lemah, dependen, tidak kompeten kecuali untuk tugas rumah tangga. Sedangkan suami harus menanggung keluarga sehingga status mereka lebih tinggi. Mereka juga punya hak untuk mengendalikan perempuan. Pandangan ini juga terdapat pada lingkungan masyarakat Jawa. Perempuan disebut sebagai teman dibelakang, bahkan ada istilah ke surga atau ke neraka, istri hanya mengikuti suami. Dengan demikian, biasanya perempuan disosialisasikan untuk berperan sebagai istri dan ibu. Mereka disiapkan untuk menjadi makhluk yang patuh.

Nilai-nilai tradisional yang ada dalam masyarakat memang menjadi tekanan sosial bagi perempuan. Perempuan akan mengingat kodratnya yaitu masak, macak, dan manak. Yang artinya adalah masak, dandan, dan melahirkan anak sebagai tugas utama, dan perempuan harus melewati konflik batin sebelum memutuskan untuk berkarier. Kenapa demikian? Karena masyarakat Indonesia masih mengaitkan kesejahteraan keluarga dengan peranan ibu. Jadi, kalau ada perempuan berkarier, masyarakat akan bertanya “bagaimana dengan keluarganya?” jika keluarganya tidak dalam keadaan ideal, masyarakat tidak segan-segan untuk menghakimi perempuan tersebut sebagai perempuan yang gagal. 

Yang perlu digugat dan dipersoalkan adalah adanya  peran gender tradisional perempuan dinilai lebih rendah dibandingkan peran gender lelaki yang menimbulkan ketidakadilan gender. Oleh sebab itu analisis gender membantu kita untuk memahami bahwa pokok  persoalannya adalah sistem dan struktur yang tidak adil, di mana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena sistem ketidakadilan gender tersebut.

Di Indonesia, banyak perempuan yang bekerja di sektor formal. Mereka bekerja dengan beragam alasan. Ada yang untuk menyambung nafkah, ada yang ingin mengaktualisasikan diri, mencari peluang untuk mengembangkan diri selama berkarier. Ada pula perempuan yang ingin memanfaatkan ilmu pengetahuan yang mereka peroleh untuk melaksanakan emansipasi hak dan kewajiban kaum perempuan. Berbagai isu memang harus digumuli oleh perempuan, antara lain mengenai pandangan masyarakat, dan berbagai kendala di lingkungan kerjanya. 

Bagaimana mengenai rupa citra perempuan dalam film Indonesia? Penulis membaca mengenai Sejarah Perfilman Indonesia dan Perkembangan Film di Indonesia. Pada masa Hindia Belanda, tema cerita lebih banyak menggambarkan kisah asmara, kalau pada masa pendudukan Jepang, lebih banyak berisi propaganda tentang Jepang, dan pada saat masa kemerdekaan lebih banyak tentang paham kebangsaan. Sangat disayangkan, kecenderungan tema dalam film Indonesia itu susah dilacak. Terutama, karena kepentingan untuk mendokumentasikan film Indonesia baru dimulai pada tahun 1970-an. 

Peran perempuan digambarkan hanya sebagai pelengkap dalam keseluruhan cerita. Kalaupun menjadi peran utama, peran itu berkaitan dengan pandangan bahwa posisi perempuan ada di lingkup domestik, sebagai ibu, istri, kekasih, atau anak perempuan yang penurut. Sebaliknya, laki-laki berkaitan dengan aktivitas di lingkup publik, pengambil keputusan, dsb. 

Ada kesan tidak peduli atas penampilan karakter perempuan yang positif. Film Indonesia dianggap sebagai barang dagangan, tidak memperdulikan lagi segi artistik, dan alur cerita. Padahal film merupakan salah satu media yang mampu membentuk opini masyarakat.

Perjuangan perempuan tidak mutlak harus melalui jalur politik, karena sudah dapat disalurkan melalui jalur sosial, agama, kebudayaan, dan kesenian. Keadilan masa kini masih perlu diupayakan lebih keras, karena adanya ketimpangan sosial yang mencolok. Pelaksanaan dan perbaikan undang-undang atau peraturan hasil perjuangan itu harus diteruskan. Yang lebih penting adalah kebutuhan pemberdayaan perempuan agar mereka lebih mampu berpartisipasi aktif, bersama dengan laki-laki, dalam proyek pembangunan utama, dan bisa memiliki andil dalam proses pengambilan keputusan. 

Jakarta, 18 April 2017

Oleh : Febri Fazriati

Bahan Bacaan  :
1.     Suleeman, E1996, Perempuan Indonesia Dulu dan Kini, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
2.     Kowani, 1978, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
3.   H. Muluk, 1995, “Tipologi Wanita Indonesia”, Tesis, Jakarta: Program Pascasarjana Psikologi Universitas Indonesia
4.      Tercederanya Hak-Hak Sipil Masyarakat Usia Sekolah diakses pada tanggal 17 April 2017
5.      Sekilas Perjalanan Perfilman Indonesia diakses pada tanggal 16 April 2017
6.      etd.repository.ugm.ac.id/.../79719/.../S2-2015-274682-bibliography.pdf
7.      Penjelasan singkat: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) diakses pada tanggal 15 April 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Press Release Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru Pendidikan Geografi

OPEN HOUSE BEMP GEOGRAFI 2017-2018

OPEN HOUSE BEMJ GEOGRAFI UNJ PERIODE 2015-2016