Migrasi dalam Suku Minangkabau
Migrasi
dalam ahli demografi lebih memandang pada kecenderungan dan arah aliran
migrasi. Dalam buku Dasar-Dasar Demografi (Munir, 2010) migrasi adalah
perpindahan penduduk dengan tujuan
menetap dari suatu tempat ke tempat lain dengan melampaui batas politik/negara
ataupun batas administrasi/batas bagian dalam suatu negara. Migrasi di negara
kita Indonesia sudah termasuk migrasi nasional dan Internasional. Pada abad
ke-17 dan 18 ketika nusantara masih berbentuk kerajaan yang tersebar diseluruh
wilayah Nusantara, beberapa suku Indonesia melakukan migrasi nasional maupun
Inteernasional. Beberapa suku di Indonesia yang melakukan migrasi internasional
terutama yang berpergian berkelompok antara lain suku Minangkabau, suku Bugis,
dan suku Banjar yang sebagian besar berpergian ke Semenanjung Malaka yaitu sekarang
dalam wilayah Malaysia, dan suku Bawean yang bermigrasi ke Singapura. Bahkan
masyarakat yang bermigrasi tersebut memiliki keturunan dan terus menetap
sehingga dianggap sebagai nenek moyang suatu daerah serta masyarakat tersebut
membentuk suatu perkampungan di tempat tujuan mereka. Seperti pada daerah
Negeri Sembilan di Malaysia yang banyak terdapat suku Minangkabau.
Migrasi
sudah tentu menjadi hal biasa selama masih ada sebuah kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat yang dinamis menjadi salah satu faktor terjadinya migrasi. Migrasi
yang terjadi pada suku Minangkabau tergolong sukarela tanpa ada paksaan untuk
melakukan itu sebagaimana yang terjadi pada suku lainnya seperti suku Bawean,
suku Banjar, suku Bugis dan beberapa suku lainnya yang bermigrasi tanpa ada
paksaan. Tetapi terdapat yang berbeda dengan suku Minangkabau, salah satu yang
dikenal luas dengan migrasinya atau yang dikenal dengan merantau memiliki
kekhasan tersendiri dalam terjadinya migrasi.
Oleh karena itu, penulis akan membahas pola migrasi yang dilakukan suku
Minangkabau.
·
Merantau
: Bentuk Migrasi dalam Suku Minangkabau
Suku
Minangkabau dikenal sebagai perantau yang ulung bagi sebagian besar masyarakat.
Ini dapat dilihat dari banyaknya orang-orang yang berhasil di daerah
perantauannya. Merintis dari usaha-usaha kecil agar dapat bertahan dari
terjangan kaum asli di tempat yang ia tinggali. Dalam suku Minangkabau, dikenal
sebuah pola migrasi yang sering disebut dengan “Merantau”. Kata ini merupakan
suatu tipe khusus dari migrasi dengan konotasi budaya tersendiri yang tidak
mudah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris atau bahasa Barat manapun.[1]
“Merantau” yang dikenal ini merupakan bahasa dari istilah Melayu, Indonesia dan
Minangkabau yang sama dengan kata dasar berupa “rantau yang berarti dataran
rendah atau daerah aliran sungai, jadi biasanya terletak dekat ke-atau bagian
daerah pesisir ini didapat dari pendapat Windstedt, Iskandar dan Purwadarminta.
Masyarakat
minangkabau mengartikan rantau sebagai meninggalkan kampung halaman dan pergi
merantau sehingga memberi ruang untuk bergerak serta memiliki jarak dengan
tempat asli si perantau tersebut. Pada masa dahulu ketika tanah air orang Minangkabau
masih terbatas pada Luhak yang tiga, pergi ke pantai timur atau ke pantai barat
sudah dipandang sebagai merantau. Meskipun wilayah Minangkabau sudah semakin
luas istilah merantau ini tetap digunakan selama orang pergi meninggalkan
wilayah kampung halamannya, misal orang dari Bukittinggi atau pun wilayah
pedalaman meninggalkan kampung halamannya menuju Padang tetap akan dikatakan
sebagai seorang perantau selama memiliki jarak dengan kampung halamannya. Namun
saat-saat ini istilah merantau lebih digunakan untuk menerangkan seseorang yang
berpergian keluar Sumatera Barat.
Dalam sudut sosiologi istilah merantau dikenal dengan enam unsur pokok yakni :
Dalam sudut sosiologi istilah merantau dikenal dengan enam unsur pokok yakni :
2. Dengan kemauan sendiri.
3. Untuk jangka waktu lama atau tidak.
4. Dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman.
5. Biasanya dengan maksud kembali pulang
6. Merantau ialah lembaga sosial membudaya.
Keenam aspek inilah yang membatasi
aspek migrasi dengan nama “Merantau”. Jika
kita usut dari sejarahnya merantau ini, asal usul merantau dalam buku “Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau-edisi ketiga”
dijelaskan bahwa nenek moyang orang Minangkabau sekarang ini pastilah datang
melalui jalan panjang merantau dari daratan Asia Tenggara terus melintasi
Semenanjung Malaya dalam masa prasejarah. Kemudian orang-orang tersebut
menggeser orang yang telah datang terlebih dahulu. Keturunan rakyat yang datang
lebih dahulu itu mungkin sekali adalah orang-orang terbelakang yang sekarang
disebut orang Kubu, Lubu, Mamak, Rejang dan Pasemah. Teori ini sejalan dengan
yang dimukakan oleh Kerndan Heine-Geldern
yang mengemukakan penduduk nusantara sekarang ini berasal dari dataran Asia. Teori
yang dikenal dengan teori gelombang von Eickstedt yang menyatakan bahwa setiap
gelombang perpindahan dari tempat asal selalu menggeser bangsa-bangsa yang
telah lebih dahulu berpindah kesana.
Tentu
asal-usul Merantau ini banyak sekali teori yang mengemukakannya, namun dapat
kita ketahui bahwa selama masih terdapatnya masyarakat ia akan selalu bergerak
dan terus bergerak. Setiap masyarakat itu berpindah dengan alasan apapun sejak
dahulu kala, tak terkecuali orang minangkabau. Selain itu, kita dapat
menelusuri penyebab-penyebab terjadinya suatu budaya yang dikenal dengan
merantau ini. Faktor terjadinya merantau ini antara lain
1. Faktor Fisik : Ekologi dan Lokasi
Letak provinsi Sumatera Barat yang menjadi lokasi beradanya
suku Minangkabau dapat dikatakan sangatlah sulit ditempu saat berabad-abad
lalu. Sehingga, hasil pertanian ataupun emas diangkut oleh orang-orang
Minangkabau itu melalui sungai-sungai yang mengalir ke Sumatera bagian timur.
Dengan peristiwa ini terjadilah peristiwa migrasi yang dikenal dengan
“Merantau”. Selain itu terdapat dalam kondisi ekologi dimana kesuburan tanah
yang tinggi menyebabkan mata pencaharian sebagian besar ialah petani. Namun,
dengan luas daerah terbatas namun pertumbuhan penduduk yang terus meningkat
menyebabkan faktor ekologi menjadi salah satu terjadinya merantau dikarenakan
kebutuhan akan pangan yang berkurang dalam memenuhi pertumbuhan penduduk.
2. Faktor Ekonomi dan Demografi
Meskipun dengan adanya pertanian mereka sanggup menjalani
kehidupan, namun, bagi kaum pemuda ini tidak lah cukup. Orang muda selalu
didorong pergi merantau untuk mencari rezeki sehingga ia nanti sanggup berdiri
sendiri dan menghidupi keluarganya bila datang masanya untuk berumah tangga.
Apalagi ditambah dengan daerah yang jumlah sawah tidak cukup lagi menghidupi
keluarga, maka kecenderungan untuk terjadinya merantau menjadi lebih tinggi.
Dalam masalah kependudukan, berhubungan erat dengan
tersedianya lahan untuk mereka tinggali ataupun dengan lahan garapan seperti
pertanian untuk dijadikan sebagai ladang perekonomian mereka. Dengan laju
pertumbuhan yang terus bertambah tentu akan menyebabkan berkurangnya lahan
untuk tempat tinggal serta tempat pertanian yang dapat mereka garap. Hal ini
lah yang menyebabkan terjadinya merantau lebih tinggi.
3. Faktor Pendidikan
Faktor ini menjadi faktor penting dimana terjadinya merantau,
bahkan dari sejak dulu pendidikan menjadi hal yang paling utama menjadi alasan
kenapa orang Minangkabau pergi merantau. Selain itu penghargaan yang tinggi
terhadap pendidikan telah mengakar kuat dalam masyarakat Minangkabau. Selain
itu, ambisi untuk menaiki strata sosial melalui pendidikan juga menyebabkan
terjadinya merantau. Dikarenakan sebenarnya sebagian konsep asal dari merantau
ialah mencari ilmu dan pengalaman untuk mempersiapkan diri agar dapat hidup
berguna di kampung nanti sesudah kembali dari rantau.
4. Daya Tarik Kota
Semakin besarnya perkembangan daerah perkotaan menyebabkan
semakin besar pula daya tarik kota itu untuk mendatangkan pendatang terutama
bagi pedagang serta petani yang tidak lagi memiliki daerah garapan. Secara
praktis urbanisasi dapat dikaitkan pula dengan merantau, oleh karena
pusat-pusat daya tarik kota semuanya terdapat di luar wilayah budaya mereka.
Tentu
faktor-faktor tersebut mempengaruhi besarnya jumlah perantau dari daerah
Sumatera Barat. Jika kita lihat dari tradisi masyarakat Minangkabau yang
matrilineal, menyebabkan kaum wanita memiliki keistimewaan tersendiri
dibandingkan yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Laki-laki Minangkabau biasanya
tidak memiliki peranan yang begitu besar di rumah ibunya maupun di rumah
istrinya. Posisinya lemah; di rumah ibunya (yakni dimana ia termasuk dalam
keluarga tersebut) tidak disediakan ruangan atau bilik untuknya yang dapat
digunakannya untuk pribadinya, sebagaimana halnya dengan semua anggota wanita;
sedangkan di rumah istrinya dia hanya mengunjungi istrinya di malam hari. Kaum
laki-laki biasanya tidak mewarisi bagian dari hak milik dari salah satu dari
kedua garis keturunan tadi. Sebagai anggota keluarga laki-laki dalam garis ibu,
di rumah ibunya dia berfungsi sebagai pelindung dan wali (mamak rumah), dan dengan demikian menjadi tugasnya untuk juga
memperbesar dan memperbanyak harta benda kaum dari ibunya.
Dengan
kondisi yang lemah ini, laki-laki cenderung untuk berpergian ke mana saja dikehendakinya.
Sebelum kawin bahkan laki-laki didorong untuk pergi merantau dan untuk
membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia sanggup mencari uang dan berdiri di
kaki sendiri. Jadi dapat dikatakan, terlepas dari faktor-faktor terjadinya
merantau, dengan adanya merantau ini juga dapat dilihat sebagai suatu dalam
mencapai kedewasaan dan sebagai kewajiban sosial yang dipikul ke bahu laki-laki
untuk meninggalkan kampung halamannya mencari harta kekayaan, melanjutkan ilmu
dan mencari pengalaman hidup yang akan berguna saat mereka kembali pulang ke
kampung halamannya.
Daftar Pustaka
Jongguran, Ervin dan Henny Surya, dkk. 2013. MIGRASI SUKU-SUKU DAN ASIMILASI BUDAYA DI
INDONESIA; Tinjauan Literatur Antara Teori dan Empiris.
http://demografi.bps.go.id/phpfiletree/bahan/kumpulan_tugas_mobilitas_pak_chotib/Kelompok_1/Paper_dan_Presentasi/PAPER_Migrasi_Suku_Suku_dan_Asimilasi_Budaya_Kelompok_1.pdf. Dikunjungi pada 28 Juni 2016
http://demografi.bps.go.id/phpfiletree/bahan/kumpulan_tugas_mobilitas_pak_chotib/Kelompok_1/Paper_dan_Presentasi/PAPER_Migrasi_Suku_Suku_dan_Asimilasi_Budaya_Kelompok_1.pdf. Dikunjungi pada 28 Juni 2016
Naim, Mochtar. 2013. Merantau:
Pola Migrasi Suku Minangkabau. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Persada.
Oleh : Hadistian
Staff Edukasi BEMP Geografi UNJ
Editor : Febri Fazriati
Komentar
Posting Komentar